PEMAHAMAN HADITS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL


.    Memahami Hadits Secara Tekstual dan Kontekstual
Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadits mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadits. Mungkin saja suatu hadits tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual(, sedang hadits tertentu lainnya lebih dapat dipahami secara tersirat (kontekstual). Pemahaman dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetapi menurut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan. Pemahaman dan penerapan hadits secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadits, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadits bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang tekstual (tersurat)[3].
Contoh:                                                                                     
اِغْتَسِلُوْامِنْهُ وَتَوَضَؤُوْافَاِنَّهُ هُوَالطَّهُوْرُمَأُهُ
“Mandilah dan berwudulah kalian dengan air laut tersebut, sebab air laut itu suci dan bangkainyapun juga halal”

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad. al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abu Hurairoh, dia bekata: “Pada suatu hari kami pernah pergi bersama Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seorang nelayan, seraya bertanya, ya Rasullallah sesungguhnya kami ini biasa pergi kelaut untuk mencari ikan. Pada waktu kami berlayar sampai ditengah laut kami kadang bermimpi keluar air mani (junub). Dengan demikian kami tentu perlu air untuk mandi dan berwudlu. Bagaimana jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air laut? Sebab jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air tawar yang kami bawa untuk minum tentu kami akan mati kehausan. Nabi kemudian bersabda sebagai mana dikutip diatas.[4]
Jadi setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengan asbabul wurudnya tadi, Hadits tersebut ternyata tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis atau tekstual.
Contoh hadits yang harus dipahami secara kontekstual
اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مَعٍى وَاحِدٍ, وَالكَافِرُيَأْكُلُ فِيْ سَبْعَةِ اَمْعَاءٍ
“Orang yang beriman itu, makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan  dengan tujuh usus”,

Secara tekstual hadits tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal pada kenyataannya yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan demikian pernyataan hadits itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadits diatas harus dipahami secara kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan hadits tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan, yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Disamping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk saat makan. Sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.[5]


B.     Beberapa Petunjuk dan Ketentuan Umum Untuk Memahami Hadits
1.        Memahami hadits sesuai petunjuk Al-Qur’an
Untuk memahami hadits dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk maka haruslah kita memahaminya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, yaitu, dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Jika Al-Qur’an merupakan dasar yang pertama dan utama, maka hadits adalah penjelasan terperinci tentang isi konstitusi tersebut.[6]
Misalnya hadits mengenai hukum rajam yang memang pernah ada dan diberlakukan oleh Nabi Muhammad, jika diteliti lebih lanjut, materi hadits-hadits rajam itu sendiri dikaitkan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, ternyata hal itu tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Al-Quran. Hadis rajam memuat ketentuan hukuman bagi laki-laki dan perempuan yang berzina muhsan adalah rajam (dilempari batu atau sejenisnya sampai mati). Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan  surat An-Nisa :25 yang berisi hukum hamba wanita yang telah kawin dan berbuat zina adalah setengah dari hukuman wanita yang merdeka yang telah menikah. Maka ketentuan hukum rajam (mati) bagi hamba wanita tidak mungkin dilakukan, bagaimana mungkin hukuman mati bisa dibagi dua. Akan tetapi, jika surat An-Nisa :25 dikaitkan dengan surat An-Nur (24):2 (yang menerangkan bahwa hukuman bagi pezina adalah masing-masing didera 100 kali) maka dapat diperoleh hasil yakni 100 kali deraan bagi wanita merdeka dan 50 deraan bagi wanita hamba sahaya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, meskipun hadits rajam sahih dan pelaksanaannya pernah diterapkan Nabi, tetapi melalui telaah historis, hadits tersebut telah dimansukh oleh Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2. Sehingga hadits ini tidak bisa diberlakukan lagi.[7]
2.        Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
Untuk berhasil di dalam memahami As-Sunnah atau hadits secara benar
,
kita harus menghimpun hadis sahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Dengan cara itu dapatlah dimengerti maksudnya dengan jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.[8] Seringkali Nabi menelurkan sabdanya dengan memperhatikan keadaan yang beliau hadapi itu kepada seseorang yang menanyakan. Misal tentang perbuatan terbaik dan disukai Allah, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya . Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah:
1.    Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya
2.    Amal yang paling baik dan disukai Allah adalah membaca A-Qur’an sepanjang waktu
3.    Amal yang paling utama adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia
4.    Amal yang paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya
5.    Amal yang paling baik adalah memberi makan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada siapa saja.[9]

Dari kelima arti matan hadis yang dikutip di atas dapatlah dipahami bahwa amal yang termasuk lebih utama atau lebih baru itu ternyata bermacam-macam. Dalam pada itu, dapat pula dipahami bahwa untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada), ternyata dapat saja jawabannya berbeda-berbeda. Perbedaan materi jawaban sesungguhnya tidaklah bersifat substansif. Yang substantif adalah relevasi antara keadaan orang yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan.

Dengan demikian, jawaban Nabi atas pertanyaan-pertanyaan yang sama (senada) itu bersifat temporal, tepatnya kondisional. Dan bukan universal.[10]
3.        Penghubungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya) bertentangan.
Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diadakan dengan adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja . bukan dalam kenyataan yang hakiki.
Apabila penghilangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama dari pada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan mengutamakan yang lain.[11]
Misalnya, hadis yang berisi larangan buang hajat menghadap kiblat ataupun membelakanginya. Namun dalam hadis yang lain dinyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat menghadap ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat. Dengan demikian secara tekstual petunjuk kedua hadis tampak bertentangan.
Menurut penelitian ulama hadis, petunjuk kedua hadis tersebut tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbuka, sedang yang melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya WC, larangan tidak berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-jam’u.
Dengan demikian, secara kontekstual kedua hadis tersebut tidak  bertentangan. Larangan dan kebolehan yang dikemukakan oleh masing-masing hadis bersifat temporal ataupun lokal.[12]

4.        Memahami hadis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisinya ketika diciptakan
Adakalanya suatu hadis berkaitan erat dengan keadaan yang sedang terjadi. Keadaan tersebut tidak termuat dalam matan hadis yang bersangkutan. Untuk mengkaji lebih khusus tetang pemahaman hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi atau berkembang, berikut ini dikemukakan contoh matan hadis.
Misalnya, hadis tentang melukis yang bunyinya
اِنَّ اَشدَّالنَّاسِ عَذَابًا عِنْدَاللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَّوِّرُوْنَ
(رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن عبدالله بن مسعود)
“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan yang paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak adalah pelukis.”

Secara tekstual hadis tersebut memberikan pengertian larangan untuk melukis, bahkan dalam hadis lain para pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya.[13]
       Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam kepastianya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat islam telepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan.
Kalau illat al hukumnya demikian, maka pada saat umat islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajangnya diperbolehkan. Kaidah usul fiqih menyatakan, hukum itu ditentukan oleh ilatnya (latar belakangnya), bila illatnya ada maka hukumnya ada. Dan bila illatnya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.[14]
5.        Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz/kiasan
Ungkapan dalam bentuk majaz atau kiasan banyak sekali digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih terkesan dari pada ungkapan dalam bentuk biasa. Sedangkan Rasulullah SAW adalah seorang yang berbahasa arab yang paling menguasai balaghah. Maka tak mengherankan apabila dalam hadis-hadisnya beliau banyak menggunakan majaz, yang mengungkap maksud beliau dengan cara sangat mengesankan.[15]
Misalnya hadis
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه البخارى ومسلم وغيرهما)
Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya.”

Hadis Nabi tersebut mengemukakan tamsil tasybih bagi orang-orang yang beriman sebagai bangunan. Tasybih tersebut sangat berlaku tanpa terikat waktu dan tempat. Sebab setiap bangunan pastilah bagiannya berfungsi memperkokoh bagian-bagian lainnya dan tidak berusaha saling menjatuhkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Belajar Membuat Blog? Lakukan 6 Langkah Ini untuk Menjadi Blogger yang Sukses

Tumbuhan Dikotil dan Monokotil, Ciri-ciri beserta Contohnya